ARTIKEL
SEJARAH DAN ASAL MULA PANCASILA
Disusun Oleh :
·
Nama : Sumarna
·
Kelas : TI – A4
TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI
UNIVERSITAS SERANG RAYA
2012 - 2013
Teori Asal Mula Pancasila
Asal mula Pancasila dasar filsafat Negara dibedakan:
- Causa
materialis (asal mula bahan) ialah berasal dari bangsa Indonesia sendiri,
terdapat dalam adat kebiasaan, kebudayaan dan dalam agama-agamanya.
- Causa
formalis (asal mula bentuk atau bangun) dimaksudkan bagaimana Pancasila
itu dibentuk rumusannya sebagaimana terdapat pada Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945. Dalam hal ini BPUPKI memiliki peran yang sangat menentukan.
- Causa
efisien (asal mula karya) ialah asal mula yang meningkatkan Pancasila dari
calon dasar negara menjadi Pancasila yang sah sebagai dasar negara. Asal
mula karya dalam hal ini adalah PPKI sebagai pembentuk negara yang
kemudian mengesahkan dan menjadikan Pancasila sebagai dasar filsafat
Negara setelah melalui pembahasan dalam sidang-sidangnya.
- Causa
finalis (asal mula tujuan) adalah tujuan dari perumusan dan pembahasan
Pancasila yakni hendak dijadikan sebagai dasar negara. Untuk sampai kepada
kausan finalis tersebut diperlukan kausa atau asal mula sambungan.
Unsur-unsur Pancasila berasal dari bangsa Indonesia
sendiri, walaupun secara formal Pancasila baru menjadi dasar Negara Republik
Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, namun jauh sebelum tanggal tersebut
bangsa Indonesia telah memiliki unsur-unsur Pancasila dan bahkan melaksanakan di
dalam kehidupan mereka. Sejarah bangsa Indonesia memberikan bukti yang dapat
kita cari dalam berbagai adat istiadat, tulisan, bahasa, kesenian, kepercayaan,
agama dan kebudayaan pada umumnya misalnya:
- Di
Indonesia tidak pernah putus-putusnya orang percaya kepada Tuhan,
bukti-buktinya: bangunan peribadatan, kitab suci dari berbagai agama dan
aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, upacara keagamaan pada
peringatan hari besar agama, pendidikan agama, rumah-rumah ibadah, tulisan
karangan sejarah/dongeng yang mengandung nilai-nilai agama. Hal ini
menunjukkan kepercayaan Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Bangsa
Indonesia terkenal ramah tamah, sopan santun, lemah lembut dengan sesama
manusia, bukti-buktinya misalnya bangunan padepokan, pondok-pondok,
semboyan aja dumeh, aja adigang adigung adiguna, aja kementhus, aja
kemaki, aja sawiyah-wiyah, dan sebagainya, tulisan Bharatayudha, Ramayana,
Malin Kundang, Batu Pegat, Anting Malela, Bontu Sinaga, Danau Toba, Cinde
Laras, Riwayat dangkalan Metsyaha, membantu fakir miskin, membantu orang
sakit, dan sebagainya, hubungan luar negeri semisal perdagangan,
perkawinan, kegiatan kemanusiaan; semua meng-indikasikan adanya
Kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Bangsa
Indonesia juga memiliki ciri-ciri guyub, rukun, bersatu, dan kekeluargaan,
sebagai bukti-buktinya bangunan candi Borobudur, Candi Prambanan, dan
sebagainya, tulisan sejarah tentang pembagian kerajaan, Kahuripan menjadi
Daha dan Jenggala, Negara nasional Sriwijaya, Negara Nasional Majapahit,
semboyan bersatu teguh bercerai runtuh, crah agawe bubrah rukun agawe
senthosa, bersatu laksana sapu lidi, sadhumuk bathuk sanyari bumi, kaya
nini lan mintuna, gotong royong membangun negara Majapahit, pembangunan
rumah-rumah ibadah, pembangunan rumah baru, pembukaan ladang baru menunjukkan
adanya sifat persatuan.
- Unsur-unsur
demokrasi sudah ada dalam masyarakat kita, bukti-buktinya: bangunan Balai
Agung dan Dewan Orang-orang Tua di Bali untuk musyawarah, Nagari di
Minangkabau dengan syarat adanya Balai, Balai Desa di Jawa, tulisan
tentang Musyawarah Para Wali, Puteri Dayang Merindu, Loro Jonggrang, Kisah
Negeri Sule, dan sebagainya, perbuatan musyawarah di balai, dan
sebagainya, menggambarkan sifat demokratis Indonesia;
- Dalam
hal Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, bangsa Indonesia dalam
menunaikan tugas hidupnya terkenal lebih bersifat sosial dan berlaku adil
terhadap sesama, bukti-buktinya adanya bendungan air, tanggul sungai,
tanah desa, sumur bersama, lumbungdesa, tulisan sejarah kerajaan Kalingga,
Sejarah Raja Erlangga, Sunan Kalijaga, Ratu Adil, Jaka Tarub, Teja Piatu,
dan sebagainya, penyediaan air kendi di muka rumah, selamatan, dan
sebagainya.
Pancasila sebenarnya secara budaya merupakan
kristalisasi nilai-nilai yang baik-baik yang digali dari bangsa Indonesia. Disebut
sebagai kristalisasi nilai-nilai yang baik. Adapun kelima sila dalam Pancasila
merupakan serangkaian unsur-unsur tidak boleh terputus satu dengan yang
lainnya. Namun demikian terkadang ada pengaruh dari luar yang menyebabkan
diskontinuitas antara hasil keputusan tindakan konkret dengan nilai budaya.
Asal Mula Pancasila Secara Formal
BPUPKI terbentuk pada tanggal 29 April 1945. Adanya
Badan ini memungkinkan bangsa Indonesia dapat mempersiapkan kemerdekaannya
secara legal, untuk merumuskan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi sebagai
negara yang merdeka. Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia dilantik pada tanggal 28 Mei 1945 oleh Gunseikan (Kepala Pemerintahan
bala tentara Jepang di Jawa).
Badan penyelidik ini mengadakan sidang hanya dua kali.
Sidang pertama tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, sedangkan sidang kedua
10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945. Pada sidang pertama M. Yamin dan Soekarno
mengusulkan tentang dasar negara, sedangkan Soepomo mengenai paham negara
integralistik. Tindak lanjut untuk membahas mengenai dasar negara dibentuk
panitia kecil atau panitia sembilan yang pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil
merumuskan Rancangan mukaddimah (pembukaan) Hukum Dasar, yang oleh Mr. Muhammad
Yamin dinamakan Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.
Sidang kedua BPUPKI menentukan perumusan dasar negara
yang akan merdeka sebagai hasil kesepakatan bersama. Anggota BPUPKI dalam masa
sidang kedua ini ditambah enam anggota baru. Sidang lengkap BPUPKI pada tanggal
10 Juli 1945 menerima hasil panitia kecil atau panitia sembilan yang disebut
dengan piagam Jakarta. Di samping menerima hasil rumusan Panitia sembilan
dibentuk juga panitia-panitia Hukum Dasar yang dikelompokkan menjadi tiga
kelompok panitia perancang Hukum Dasar yakni: 1) Panitia Perancang Hukum Dasar
diketuai oleh Ir. Soekarno dengan anggota berjumlah 19 orang 2) Panitia Pembela
Tanah Air dengan ketua Abikusno Tjokrosujoso beranggotakan 23 orang 3) Panitia
ekonomi dan keuangan dengan ketua Moh. Hatta, bersama 23 orang anggota.
Panitia perancang Hukum Dasar kemudian membentuk lagi
panitia kecil Perancang Hukum Dasar yang dipimpin Soepomo. Panitia-panitia
kecil itu dalam rapatnya tanggal 11 dan 13 Juli 1945 telah dapat menyelesaikan
tugasnya Panitia Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zyunbi Linkai), yang sering
disebut Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sidang pertama PPKI
tanggal 18 Agustus 1945 berhasil mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia dan menetapkan: menyusun Rancangan Hukum Dasar. Selanjutnya
tanggal 14 Juli 1945 sidang BPUPKI mengesahkan naskah rumusan panitia sembilan
yang dinamakan Piagam Jakarta sebagai Rancangan Mukaddimah Hukum Dasar, dan
pada tanggal 16 Juli 1945 menerima seluruh Rancangan
Hukum Dasar yang sudah selesai dirumuskan dan di
dalamnya juga memuat Piagam Jakarta sebagai mukaddimah.
Hari terakhir sidang BPUPKI tanggal 17 Juli 1945,
merupakan sidang penutupan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia dan selesailah tugas badan tersebut. Pada tanggal 9 Agustus 1945
dibentuk Panita Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sidang pertama PPKI 18
Agustus 1945 berhasil mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
dan menetapkan:
- Piagam
Jakarta sebagai rancangan Mukaddimah Hukum Dasar oleh BPUPKI pada tanggl
14 Juli 1945 dengan beberapa perubahan, disahkan sebagai Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
- Rancangan
Hukum Dasar yang telah diterima oleh BPUPKI pada tanggal 16 Juli 1945
setelah mengalami berbagai perubahan, disahkan sebagai Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia.
- Memilih
Presiden dan Wakil Presiden yang pertama, yakni Ir. Soekarno dan Drs. Moh.
Hatta.
- Menetapkan
berdirinya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai Badan Musyawarah
Darurat.
Sidang kedua tanggal 19 Agustus 1945, PPKI membuat
pembagian daerah propinsi, termasuk pembentukan 12 departemen atau kementerian.
Sidang ketiga tanggal 20, membicarakan agenda badan penolong keluarga korban
perang, satu di antaranya adalah pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pada
22 Agustus 1945 diselenggarakan sidang PPKI keempat. Sidang ini membicarakan
pembentukan Komite Nasional Partai Nasional Indonesia. Setelah selesai sidang
keempat ini, maka PPKI secara tidak langsung bubar, dan para anggotanya menjadi
bagian Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Anggota KNIP ditambah dengan
pimpinan-pimpinan rakyat dari semua golongan atau aliran dari lapisan
masyarakat Indonesia.
Rumusan-rumusan Pancasila secara historis terbagi
dalam tiga kelompok.
- Rumusan
Pancasila yang terdapat dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang merupakan tahap pengusulan sebagai
dasar negara Republik Indonesia.
- Rumusan
Pancasila yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
sebagai dasar filsafat Negara Indonesia yang sangat erat hubungannya
dengan Proklamasi Kemerdekaan.
- Beberapa
rumusan dalam perubahan ketatanegaraan Indonesia selama belum berlaku
- kembali
rumusan Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
Dari tiga kelompok di atas secara lebih rinci rumusan
Pancasila sampai dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 ini ada
tujuh yakni:
- Rumusan
dari Mr. Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945, yang disampaikan dalam pidato
“Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia” (Rumusan I).
- Rumusan
dari Mr. Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945, yang disampaikan sebagai usul
tertulis yang diajukan dalam Rancangan Hukum Dasar (Rumusan II).
- Soekarno,
tanggal 1 Juni 1945 sebagai usul dalam pidato Dasar Indonesia Merdeka,
dengan istilah Pancasila (Rumusan III).
- Piagam
Jakarta, tanggal 22 Juni 1945, dengan susunan yang sistematik hasil
kesepakatan yang pertama (Rumusan IV).
- Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 18 Agustus 1945 adalah rumusan pertama
yang diakui secara formal sebagai Dasar Filsafat Negara (Rumusan V).
- Mukaddimah
KRIS tanggal 27 Desember 1949, dan Mukaddimah UUDS 1950 tanggal 17 Agustus
1950 (Rumusan VI).
- Rumusan
dalam masyarakat, seperti mukaddimah UUDS, tetapi sila keempatnya berbunyi
Kedaulatan Rakyat, tidak jelas asalnya (Rumusan VII).
Kemudian atas
adanya pancasila tersebut, di jadikan dasar di negara Indonesia
Dasar negara merupakan alas atau fundamen yang menjadi
pijakan dan mampu memberikan kekuatan kepada berdirinya sebuah negara. Negara
Indonesia dibangun juga berdasarkan pada suatu landasan atau pijakan yaitu
Pancasila. Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar negara, merupakan sumber
kaidah hukum yang mengatur negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya
seluruh unsur-unsurnya yakni pemerintah, wilayah dan rakyat. Pancasila dalam
kedudukannya seperti inilah yang merupakan dasar pijakan penyelenggaraan negara
dan seluruh kehidupan negara Republik Indonesia.
Pancasila sebagai dasar negara mempunyai arti
menjadikan Pancasila sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan.
Konsekuensinya adalah Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Hal
ini menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang berarti melaksanakan
nilai-nilai Pancasila dalam semua peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karena itu, sudah seharusnya semua peraturan perundang-undangan di negara
Republik Indonesia bersumber pada Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia
mempunyai implikasi bahwa Pancasila terikat oleh suatu kekuatan secara hukum,
terikat oleh struktur kekuasaan secara formal, dan meliputi suasana kebatinan
atau cita-cita hukum yang menguasai dasar negara (Suhadi, 1998). Cita-cita
hukum atau suasana kebatinan tersebut terangkum di dalam empat pokok pikiran
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di mana keempatnya sama hakikatnya dengan
Pancasila. Empat pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut lebih
lanjut terjelma ke dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945. Barulah dari
pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 itu diuraikan lagi ke dalam banyak
peraturan perundang-undangan lainnya, seperti misalnya ketetapan MPR,
undang-undang, peraturan pemerintah dan lain sebagainya.
Setiap manusia di dunia pasti mempunyai pandangan
hidup. Pandangan hidup adalah suatu wawasan menyeluruh terhadap kehidupan yang
terdiri dari kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur. Pandangan hidup berfungsi
sebagai pedoman untuk mengatur hubungan manusia dengan sesama, lingkungan dan
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.
Pandangan hidup yang diyakini suatu masyarakat maka
akan berkembang secara dinamis dan menghasilkan sebuah pandangan hidup bangsa.
Pandangan hidup bangsa adalah kristalisasi nilai-nilai yang diyakini
kebenarannya maupun manfaatnya oleh suatu bangsa sehingga darinya mampu
menumbuhkan tekad untuk mewujudkannya di dalam sikap hidup sehari-hari.
Setiap bangsa di mana pun pasti selalu
mempunyai pedoman sikap hidup yang dijadikan acuan di dalam hidup
bermasyarakat. Demikian juga dengan bangsa Indonesia. Bagi bangsa Indonesia,
sikap hdup yang diyakini kebenarannya tersebut bernama Pancasila. Nilai-nilai
yang terkandung di dalam sila-sila Pancasila tersebut berasal dari budaya
masyarakat bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu, Pancasila sebagai inti
dari nilai-nilai budaya Indonesia maka Pancasila dapat disebut sebagai
cita-cita moral bangsa Indonesia. Cita-cita moral inilah yang kemudian
memberikan pedoman, pegangan atau kekuatan rohaniah kepada bangsa Indonesia di
dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila di samping
merupakan cita-cita moral bagi bangsa Indonesia, juga sebagai perjanjian luhur
bangsa Indonesia. Pancasila sebagaimana termuat dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 adalah hasil kesepakatan bersama bangsa Indonesia yang pada waktu
itu diwakili oleh PPKI. Oleh karena Pancasila merupakan kesepakatan bersama
seluruh masyarakat Indonesia maka Pancasila sudah seharusnya dihormati dan
dijunjung tinggi.
Pemikiran Dan Pelaksanaan Pancasila
Berbagai bentuk penyimpangan terhadap pemikiran dan
pelaksana-an Pancasila terjadi karena dilanggarnya prinsip-prinsip yang perlu
diperhatikan. Prinsip-prinsip itu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu prinsip
ditinjau dari segi intrinsik (ke dalam) dan prinsip ditinjau dari segi
ekstrinsik (ke luar). Pancasila dari segi intrinsik harus konsisten, koheren,
dan koresponden, sementara dari segi ekstrinsik Pancasila harus mampu menjadi
penyalur dan penyaring kepentingan horisontal maupun vertikal.
Ada beberapa pendapat yang mencoba menjawab
jalur-jalur apa yang dapat digunakan untuk memikirkan dan melaksanakan
Pancasila. Pranarka (1985) menjelaskan adanya dua jalur formal pemikiran
Pancasila, yaitu jalur pemikiran politik kenegaraan dan jalur pemikiran
akademis. Sementara Profesor Notonagoro (1974) menjelaskan adanya dua jalur
pelaksanaan Pancasila, yaitu jalur objektif dan subjektif.
Sejarah perkembangan pemikiran Pancasila menunjukkan
adanya kompleksitas permasalahan dan heteregonitas pandangan. Kompleksitas
permasalahan tersebut meliputi (1) masalah sumber; (2) masalah tafsir; (3)
masalah pelaksanaan; (4) masalah apakah Pancasila itu Subject to change; dan
(5) problem evolusi dan kompleksitas di dalam pemikiran mengenai pemikiran
Pancasila. Permasalahan tersebut mengundang perdebatan yang sarat dengan
kepentingan. Pemecahan berbagai kompleksitas permasalahan di atas dapat
ditempuh dengan dua jalur, yaitu jalur pemikiran politik kenegaraan, dan jalur
pemikiran akademis.
Jalur pemikiran kenegaraan yaitu penjabaran Pancasila
sebagai ideologi bangsa, Dasar Negara dan sumber hukum dijabarkan dalam
berbagai ketentuan hukum dan kebijakan politik. Para penyelenggara negara ini
berkewajiban menjabarkan nilai-nilai Pancasila ke dalam perangkat
perundang-undangan serta berbagai kebijakan dan tindakan. Tujuan penjabaran
Pancasila dalam konteks ini adalah untuk mengambil keputusan konkret dan
praktis. Metodologi yang digunakan adalah memandang hukum sebagai metodologi,
sebagaimana yang telah diatur oleh UUD.
Permasalahan mengenai Pancasila tidak semuanya dapat
dipecahkan melalui jalur politik kenegaraan semata, melainkan memerlukan jalur
lain yang membantu memberikan kritik dan saran bagi pemikiran Pancasila, jalur
itu adalah jalur akademis, yaitu dengan pendekatan ilmiah, ideologis,
theologis, maupun filosofis.
Pemikiran politik kenegaraan tujuan utamanya adalah
untuk pengambilan keputusan atau kebijakan, maka lebih mengutamakan aspek
pragmatis, sehingga kadang-kadang kurang memperhatikan aspek koherensi,
konsistensi, dan korespondensi. Akibatnya kadang berbagai kebijakan justru
kontra produktif dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian
pemikiran akademis berfungsi sebagai sumber bahan dan kritik bagi pemikiran
politik kenegaraan. Sebaliknya kasus-kasus yang tidak dapat dipecahkan oleh
para pengambil kebijakan merupakan masukan yang berharga bagi pengembangan
pemikiran akademis. Setiap pemikiran akademis belum tentu dapat diterapkan
dalam kebijakan politik kenegaraan, sebaliknya setiap kebijakan politik
kenegaraan belum tentu memiliki validitas atau tingkat kesahihan yang tinggi
jika diuji secara akademis.
Jalur pemikiran ini sangat terkait dengan jalur
pelaksanaan. Pelaksanaan Pancasila dapat diklasifikasikan dalam dua jalur
utama, yaitu pelaksanaan objektif dan subjektif, yang keduanya merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Pelaksanaan objektif adalah pelaksanaan dalam bentuk
realisasi nilai-nilai Pancasila pada setiap aspek penyelenggaraan negara, baik
di bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, dan semua bidang kenegaraan
dan terutama realisasinya dalam bentuk peraturan perundang-undangan negara
Indonesia. Pelaksanaan subjektif, artinya pelaksanaan dalam pribadi setiap
warga negara, setiap individu, setiap penduduk, setiap penguasa dan setiap
orang Indonesia. Menurut Notonagoro pelaksanaan Pancasila secara subjektif ini
memegang peranan sangat penting, karena sangat menentukan keberhasilan atau
kegagalan pelaksanaan Pancasila. Pelaksanaan subjektif ini menurut Notonagoro
dibentuk secara berangsur-angsur melalui proses pendidikan, baik pendidikan
formal, non formal, maupun informal di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Hasil yang akan diperoleh berupa pengetahuan, kesadaran, ketaatan, kemampuan
dan kebiasaan, mentalitas, watak dan hati nurani yang dijiwai oleh Pancasila.
Sebaik apa pun produk perundang-undangan, jika tidak
dilaksanakan oleh para penyelenggara negara maka tidak akan ada artinya,
sebaliknya sebaik apa pun sikap mental penyelenggara negara namun tidak
didukung oleh sistem dan struktur yang kondusif maka tidak akan menghasilkan
sesuatu yang maksimal.
Pelaksanaan Pancasila secara objektif sebagai Dasar
Negara membawa implikasi wajib hukum, artinya ketidaktaatan pada Pancasila
dalam artian ini dapat dikenai sanksi yang tegas secara hukum, sedangkan
pelaksanaan Pancasila secara subjektif membawa implikasi wajib moral. Artinya
sanksi yang muncul lebih sebagai sanksi dari hati nurani atau masyarakat.
Reformasi Pemikiran Dan Pelaksanaan
Pancasila
Reformasi secara sempit dapat diartikan sebagai menata
kembali keadaan yang tidak baik menjadi keadaan yang lebih baik. Reformasi
kadang disalahartikan sebagai suatu gerakan demonstrasi yang radikal, “semua
boleh”, penjarahan atau “pelengseran” penguasa tertentu. Beberapa catatan
penting yang harus diperhatikan agar orang tidak salah mengartikan reformasi,
antara lain sebagai berikut.
- Reformasi
bukan revolusi
- Reformasi
memerlukan proses
- Reformasi
memerlukan perubahan dan berkelanjutan
- Reformasi
menyangkut masalah struktural dan kultural
- Reformasi
mensyaratkan adanya skala prioritas dan agenda
- Reformasi
memerlukan arah
Berbagai faktor yang mendorong munculnya gerakan
reformasi antara lain: Pertama, akumulasi kekecewaan masyarakat terutama
ketidakadilan di bidang hukum, ekonomi dan politik; kedua, krisis ekonomi yang
tak kunjung selesai; ketiga, bangkitnya kesadaran demokrasi, keempat,
merajalelanya praktek KKN, kelima, kritik dan saran perubahan yang tidak
diperhatikan.
Gerakan reformasi menuntut reformasi total, artinya
memperbaiki segenap tatanan kehidupan bernegara, baik bidang hukum, politik,
ekonomi, sosial-budaya, hankam dan lain-lain. Namun pada masa awal gerakan
reformasi, agenda yang mendesak untuk segera direalisasikan antara lain:
pertama, mengatasi krisis; kedua, melaksanakan reformasi, dan ketiga
melanjutkan pembangunan. Untuk dapat menjalankan agenda reformasi tersebut
dibutuhkan acuan nilai, dalam konteks ini relevansi Pancasila menarik untuk
dibicarakan.
Eksistensi Pancasila dalam reformasi di tengah
berbagai tuntutan dan euforia reformasi ternyata masih dianggap relevan, dengan
pertimbangan, antara lain: pertama, Pancasila dianggap merupakan satu-satunya
aset nasional yang tersisa dan diharapkan masih dapat menjadi perekat tali
persatuan yang hampir koyak. Keyakinan ini didukung oleh peranan Pancasila
sebagai pemersatu, hal ini telah terbukti secara historis dan sosiologis bangsa
Indonesia yang sangat plural baik ditinjau dari segi etnis, geografis, maupun
agama. Kedua, Secara yuridis, Pancasila merupakan Dasar Negara, jika dasar
negara berubah, maka berubahlah negara itu. Hal ini didukung oleh argumentasi
bahwa para pendukung gerakan reformasi yang tidak menuntut mengamandemen
Pembukaan UUD 1945 yang di sana terkandung pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD
1945 yang merupakan perwujudan nilai-nilai Pancasila.
Kritik paling mendasar yang dialamatkan pada Pancasila
adalah tidak satunya antara teori dengan kenyataan, antara pemikiran dengan
pelaksanaan. Maka tuntutan reformasi adalah meletakkan Pancasila dalam satu
kesatuan antara pemikiran dan pelaksanaan. Gerakan reformasi mengkritik
kecenderungan digunakannya Pancasila sebagai alat kekuasaan, akhirnya hukum
diletakkan di bawah kekuasaan. Pancasila dijadikan mitos dan digunakan untuk
menyingkirkan kelompok lain yang tidak sepaham.
Beberapa usulan yang masih dapat diperdebatkan namun
kiranya penting bagi upaya mereformasi pemikiran Pancasila, antara lain:
Pertama, mengarahkan pemikiran Pancasila yang cenderung abstrak ke arah yang
lebih konkret. Kedua, mengarahkan pemikiran dari kecenderungan yang sangat
ideologis (untuk legitimasi kekuasaan) ke ilmiah. Ketiga, mengarahkan pemikiran
Pancasila dari kecenderungan subjektif ke objektif, yaitu dengan menggeser
pemikiran dengan menghilangkan egosentrisme pribadi, kelompok, atau partai,
dengan menumbuhkan kesadaran pluralisme, baik pluralisme sosial, politik,
budaya, dan agama.
Berbagai bentuk penyimpangan, terutama dalam pemikiran
politik kenegaraan dan dalam pelaksanaannya dimungkinkan terjadi karena
beberapa hal, di antaranya, antara lain: Pertama, adanya gap atau
ketidakkonsisten dalam pembuatan hukum atau perundang-undangan dengan filosofi,
asas dan norma hukumnya. Ibarat bangunan rumah, filosofi, asas dan norma hukum
adalah pondasi, maka undang-undang dasar dan perundang-undangan lain di
bawahnya merupakan bangunan yang dibangun di luar pondasi. Kenyataan ini
membawa implikasi pada lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi negara tidak dapat
memerankan fungsinya secara optimal. Para ahli hukum mendesak untuk diadakan
amandemen UUD 1945 dan mengembangkan dan mengoptimalkan lembaga judicial review
yang memiliki independensi untuk menguji secara substansial dan prosedural
suatu produk hukum.
Kedua, Kelemahan yang terletak pada para penyelenggara
negara adalah maraknya tindakan kolusi, korupsi dan nepotisme, serta
pemanfaatan hukum sebagai alat legitimasi kekuasaan dan menyingkirkan
lawan-lawan politik dan ekonomisnya.
Sosialisasi Pancasila juga mendapat
kritik tajam di era reformasi, sehingga keluarlah Tap MPR No. XVIII/MPR/1998
untuk mencabut Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang P-4. Berbagai usulan pemikiran
tentang sosialisasi Pancasila itu antara lain: menghindari jargon-jargon yang
tidak berakar dari realitas konkret dan hanya menjadi kata-kata kosong tanpa
arti, sebagai contoh slogan tentang “Kesaktian Pancasila”, slogan bahwa
masyarakat Indonesia dari dulu selalu berbhineka tunggal ika, padahal dalam
kenyataan bangsa Indonesia dari dulu juga saling bertempur, melaksanakan Pancasila
secara murni dan konsekuen, dan lain-lain. Menghindari pemaknaan Pancasila
sebagai proposisi pasif dan netral, tetapi lebih diarahkan pada pemaknaan yang
lebih operasional, contoh: Pancasila hendaknya dibaca sebagai kalimat kerja
aktif, seperti masyarakat dan negara Indonesia harus ….. mengesakan
Tuhan, memanusiakan manusia agar lebih adil dan beradab, mempersatukan
Indonesia, memimpin rakyat dengan hikmat/kebijaksanaan dalam suatu proses
permusyawaratan perwakilan, menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sosialisasi diharapkan juga dalam rangka lebih bersifat mencerdaskan kehidupan
bangsa, bukan membodohkannya sebagaimana yang terjadi pada penataran-penataran
P-4, sehingga sosialisasi lebih kritis, partisipatif, dialogis, dan argumentatif.
Berbagai Landasan
Pendidikan Pancasila
Pancasila dasar
filsafat Negara RI secara resmi disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 agustus 1945
dan tercantum dalam pembukaan UUD 1945, diundangkan dalam berita Republik
Indonesia tahun II No 7 bersama – sama dengan batang tubuh UUD 1945.
Eksistensi pancasila sebagai dasar filsafat Negara republik Indonesia
mengalami berbagai macam interprestasi dan manipulasi politik sesuai
kepentingan penguasa yang berlindung dibalik legtimasi ideology Negara
pancasila .
Gerakan reformasi
berupaya mengembalikan kedudukan dan fungsi pancasila sebagai dasar Negara RI,
yang direalisasikan melalui ketetapan MPR Th 1998 No. XVIII/MPR/1998 disertai
dengan pencabutan p – 4 dan pencabutan pancasila sebagai satu – satunya asas
bagi orsospol di Indonesia. Ketetapan tersebut juga mencabut mandat MPR yang
diberikan kepada Presiden atas wewenangnya untuk membudayakan pancasila melalui
p -4 dan asas tunggal pancasila.
Dampak yang sangat
serius atas manipulasi pancasila oleh para penguasa pada masa lampau , dewasa
ini banyak kalangan elit politik serta sebagian masyarakat beranggapan bahwa
pancasila merupakan label politik orde baru. Pandangan yang sinis serta upaya
melemahkan peranan ideology pancasila pada era reformasi dewasa ini akan sangat
berakibat fatal bagi bangsa Indonesia yaitu melemahnya kepercayaan rakyat
terhadap ideology Negara yang kemudian pada gilirannya akan mengancam persatuan
dan kesatuan bangsa Indonesia yang telah lama dibina, dipelihara serta
didambakan bangsa Indonesia sejak dahulu.
Bukti yang secara
objektif dapat disaksikan adalah hasil reformasi yang belum menampakan hasil
yang dapat dinikmati oleh rakyat. Berdasarkan alasan serta kenyataan objektif
tersebut diatas maka sudah menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai warga
Negara untuk mengembangkan serta mengkaji pancasila sebagai suatu hasil karya
besar bangsa kita yang setingkat dengan paham atau Isme – isme besar dunia
dewasa ini seperti misalnya Liberalisme.
Upaya untuk mempelajari serta mengkaji
pancasila tersebut terutama dalam kaitannya dengan tugas besar bangsa Indonesia
untuk mengembalikan tatanan Negara kita yang porak poranda dewasa ini.
Reformasi ke arah terwujudnya masyarakat dan bangsa yang sejahtera tidak cukup
dengam hanya mengembangkan dan membesarkan kebencian, mengobarkan sikap dan
kondisi konflik anta elit politik.
Landasan Pendidikan Pancasila
Landasan Historis
Bangsa Indonesia
terbentuk dalam suatu proses sejarah yang cukup panjang sejak Zaman kutai.
Beratus – ratus tahun bangsa Indonesia berjuang menemukan jati dirinya sebagai
suatu bangsa yang merdeka , mandiri serta filsafat hidup bangsa. Setelah
melalui suatu proses yang panjang dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia
menemukan jati dirinya , yang di dalamnya tersimpul ciri khas , sifat, dan
karakter bangsa yang berbeda dengan bangsa lain.
Dalam hidup berbangsa
dan bernegara dewasa ini terutama dalam masa reformasi, bangsa Indonesia
sebagai bangsa yang harus memiliki visi harus serta pandangan hidup yang kuat
agar tidak terombang – ambing ditengah – tengah masyrakat Internasional.
Jadi, secara historis
bahwa nilai –nilai yang terkandung dalam setiap sila pancasila, sebelum
dirumuskan dan disahkan menjadi dasar Negara Indonesia secara objektif historis
telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri sehingga asal nilai – nilai
pancasila tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendir, atau dengan
kata lain bangsa Indonesia sebagai kuasa materialis pancasila.
Landasan Kultural
Setiap bangsa di dunia dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara senantiasa memiliki suatu pandangan hidup. Filsafat
hidup serta pegangan hidup agar tidak terombang – ambing dalam pergaulan
masyarakat internasional. Setiap bangsa memiliki ciri khas serta
pandangan hidup yang berbeda dengan bangsa lain . Negara komunisme dan
liberalisme meletakan dasar filsafat negaranya pada suatu konsep ideologi
tertentu.
Berbeda dengan
bangsa – bangsa lain , bangsa Indonesia mendasarkan pandangan hidupnya dalam
masyarrakat, berbangsa dan bernegara pada suatu asas cultural yang dimiliki dan
melekat pada bangsa itu sendiri. Satu – satunya karya besar bangsa Indonesia
yang sejajar dengan karya besar bangsa lain di dunia ini adalah hasil pemikiran
tentang bangsa dan Negara yang mendasarkan pandangan hidup suatu prinsip nilai
yang terutang dalam sila – sila pancasila.
Landasan Yuridis
Landasan Yuridis perkuliahan pendidikan
pancasila di pendidikan
Tinggi tertuang dalam undang – undang No 2 tahun 1989 tentang sistem
pendidikan nasional. Pasal 29 telah menetapkan bahwa ia isi kurikulum setiap
jenis, jalur dan jenjang pendidikan, wajib memuat pendidikan pancasila,
pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan konseptual tersebut kemudian
dikokohkan kembali oleh kehadiran dan undang – undang Nomor tahun 20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan Nasional sebagai pengganti undang – undang no 2 tahun
1989.
Landasan Filosofis
Pancasila adalah sebagai dasar filsafat
Negara dan pandangan
Filosofis bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sudah merupakan suatu
keharusan moral untuk secara konsisten merealisasikannya dalam setiap aspek
kehidupan bermasyarakat , berbangsa dan bernegara. Hal ini berdasarkan pada
kenyataan secara filosofis dan objektif bahwa bangsa Indonesia dalam hidup
bermasyarakat dan bernegara mendasarkan pada nilai – nilai yang tertuang dalam
sila – sila pancasila yang secara filosofis merupakan filosofis bangsa
Indonesia sebelum mendirikan Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar